Dalam seperempat abad umurku, banyak hal berlalu, kesalahan-kesalahan kulakukan dan masih sedikit kebaikan yang ditebar dan diraih. Di anta...



Dalam seperempat abad umurku, banyak hal berlalu, kesalahan-kesalahan kulakukan dan masih sedikit kebaikan yang ditebar dan diraih. Di antara sekian kebaikan itu, salah satu di antaranya amat kuyukuri hingga hari ini, yakni mencitaimu, Safara Akmaliah. Perempuan yang akhirnya menjadi istriku. Di tahun ini akhirnya kita mengikat janji dalam sebuah hubungan pernikahan, dan kamu akan menjadi teman yang menemaniku menjalani sisa perjalanan hidup. 

Hari ini adalah ulang tahunmu, hari yang istimewa untukmu. Tapi maafkan karena di hari istimewamu, aku belum bisa menemankmu, perempuan istimewaku. Tugas dan jarak sementara ini membuat kita terpisah. Tak apa, semoga melalui tulisan ini, akan menjadi kado yang baik dan menjadi "teman" di hari istimewamu. 

Kekasihku, perlu kau tahu, alasan kenapa kau adalah satu yang terpenting dari yang penting dalam hidupku karena kau melengkapi banyak bagian tak utuh dalam hidup. Garwo, sigarane nyowo, yang membuatku utuh menjadi manusia. Mozaik yang menggenapi hidup. Misalnya saja, dari hal yang kecil, kamu akan mengingatkan saat aku selesai mandi, handuk harus dijemur, bukan ditaruh di dalam kamar. Dari menjadwal tidur lebih dini agar bangun lebih pagi, mengatur pola makan agar badan tetap sehat, sampai mengingatkan hal-hal penting lain dalam hidup, soal pekerjaan misalnya. Hingga akhirnya, aku sampai pada titik ini, ini berkatmu, dan atas dorongan darimu. 

Tentu ini sangat kusyukuri. Hidup memang bukan melulu soal dua sejoli yang dimabuk asmara. Pencarian jati diri, makna eksistensi diri yang termanifestasi dalam berbagai hal semacam pekerjaan, karir, pencapaian-pencapaian, uang, gaya hidup, hingga kepedulian sosial dan kemanfaatan diri kebermanfaatan untuk orang lain. Dari hal yang kusebutkan, kamu sudah sampai pada titik yang kukagumi. Titik dimana banyak orang menginginkan itu. Kau harus percaya itu dan mensyukurinya. 

Dan kita sudah sepakat dalam pernikahan agar kita saling mendukung proses-proses yang sedang kita lalui, pilihan-pilihan karir hingga soal pendidikan. Untuk hal ini, aku sangat mendukungmu, untuk berkarir sesuai keinginanmu, baik nantinya kamu memutuskan segera pergi ke Wuhan, Cina untuk meneruskan studi International Politics di sana, seiring dengan kuliah Ilmu Politik juga di Undip. Dan tentunya karir "politik" di Gresik. 

Tentang jarak yang kini memisahkan kita, keyakinanku cinta kita lebih kuat daripada itu. Lebih luas untuk menerima sekadar jarak. Meski untuk itu, banyak hal yang harus kita korbankan dan perjuangkan. Untuk itu, keyakinan ini harus dirawat setiap hari, dengan kesabaran. Komitmen ini harus dijaga dengan kepercayaan. 

 Doa terbaik untukmu di hari istimewa ini adalah tetap diberikan kesehatan. Umur yang panjang dan barokah, serta rezeki berlimpah nan barokah. Karir yang kian hari semakin baik. Doa-doamu pribadi juga akan aku aminkan serta kuupayakan untuk kita wujudkan. Dan doa untuk kita, agar pernikahan ini benar-benar menjadi ladang yang baik untuk beribadah. Hubungan yang sehat untuk dua manusia yang saling mencintai agar tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik lagi. 

Sehat selalu istriku, Safara Akmaliah. Ingat makan yang teratur! 

Jayapura, 16 Mei 2022 

Suami yang mencintaimu.

Teruntuk Safara Akmaliah             Ini kado, Cuma bentuknya beda dengan kado yang biasa kau lihat di film melodrama korea, atau sinet...


Teruntuk Safara Akmaliah

            Ini kado, Cuma bentuknya beda dengan kado yang biasa kau lihat di film melodrama korea, atau sinetron negeri  ini. Biar lebih kelas dan terlihat kece dikit, kadoku berupa tulisan, seperti kado pertama dariku, tulisan juga, narasi tentangmu. Kado yang kupahami adalah hadiah dari seseorang yang diperuntukkan untuk seseorang lain, atas dasar kasih sayang, didorong keingingan luhur membahagiakan si penerima. Bukan begitu? Jadi, perkenankan aku kembali memberikan kado tulisan lagi. Mungkin kau akan sering menemui namamu di Google dari namamu yang ada di Blog atau beragam kado meluncur berbentuk narasi lagi, dan lagi. So, prolog diatas adalah alasan yang dibuat-buat untuk mengakali biar gak ngeluarin duit buat beli kado dan pusing-pusing milih kado. Tapi, jangan percaya kalimat sebelum ini. Hoax.

***

            Tiba-tiba, kamu mengirim pesan beserta foto, berisi KHS semester ini. “IPK-ku di atas orang ini”. Dengan bangga ia menunjukkan screenshot berisi barisan nilai matakuliah semester ini. Memang ia sudah melampauiku, aku turut bahagia. Apalagi beberapa hari sebelum ujian kita sempat diem-dieman, gara-gara minta nutori pemikiran marxis kutolak.wkwk. IPK bagiku memang penting bee, tapi lebih penting daripada itu adalah ilmu itu sendiri. Aku masih meraba, apa niatku disini benar-benar untuk ilmu? Menjalankan ajaran rasul untuk tholabul ‘ilmi? Menghilangkan kebodohan, atau membekali diri agar siap bersama masyarakat membangun kesejahteraan.

            Kupikir, selama ini kau masih membawa tindak-tanduk mayoritas anak exact. (Tidak bermaksus mendiskreditkan salah satu ilmu) Kiranya lain lagi jika pola belajarmu masih terbawa nuansa semasa abu-abu. Kulihat kau sering menghafal, kurang nalar. Narasi sepanjang ratusan halaman atau ikhtisar PPT kau babat habis, hafal titik komanya dimana. Bagus nian hafalanmu, sayang kekuatan hafalanmu harus kau kikis sedikit untuk memberi ruang bernalar, memahami, menganalisis. Karena kemampuan itu yang kau butuhkan menjadi mahasiswa ilmu politik. Fenomena politik butuh analisis tajam, kadang kamu harus memakai cara politisi yang penuh tricky, atau subjek lain yang diplokotho. Jadi, kurang guna jika hafalanmu tadi kau gunakan di tataran konstelasi dan kontestasi politik yang runyamnya gak ketulungan ini. Musuh sehari lalu, esok jadi kawan dekat, esuk dele sore tempe.

            Apalagi kau pernah nyelethuk saat romantisnya kita di bawah patung depan Gubernuran ingin menjadi DPR, atau bupati di daerahmu. Hafalanmu hampir tak kau gunakan selain untuk bluffing di depan musuh politikmu. Atau biar kau kelihatan lebih intelek di depan basis massamu. Untung-untung mereka tahu dan paham apa yang kau omongkan tentang negara demokrasi deliberatif, pancasilais, sosialisme demokratis. Kau tanya John Locke, Gramsci, Karl Popper, dikira oleh pendukungmu penjajah yang menginjak-injak mbah-mbahnya. Jadi, kujamin gak ada yang nanya berapa IPK-mu semasa mahasiswa. Coba diresapi.

            Belum lagi kau juga punya keinginan menjadi konsultan politik. Bukan senang jalan kesana sayang. Tentu pengetahuan teoritismu dibutuhkan, tapi akan sia-sia tatkala kau hanya berdiam diri, jaringanmu kurang luas seluas Telkomsel. Jaringan ke politisi-politisi, partai-partai yang menaunginya, jaringan antar konsultan politik yang sudah malang melintang di dunia politik. Jaringan yang kau punya juga harus ditopang melalui branding dirimu sebagai konsultan politik yang handal. Kau harus membangun dari media, jadi kau harus rajin muncul di koran, atau media massa. Setidaknya melalui tulisan, analisis perihal konstestasi politik kekinian akan mengangkat namamu sebagai pengamat, lalu naik “pangkat” menjadi konsultan. Proses itu lebih lama daripada mengantre mie setan Jalan Kusuma Bangsa yang membuat mulas.

            Dan cita-cita mulia yang belum kau wujudkan, untuk itu kau harus yakin akan mewujudkanya. Kau harus berdarah-darah mewujudkanya, bukan dengan setengah hati, atau sambil lalu. Dunia lebih kejam dari perkuliahanmu sayang. Tapi tenang, kesulitanmu, pengorbananmu, perjuanganmu takkan sia-sia. Meski klise, kau harus percaya itu, karena ada satu kaidah yang dulu pernah kupelajari bahwa Al-masyaqqotu Tajlibuu At-Taisiir (Kesulitan menarik akan Kemudahan). Pun Allah juga pernah berjanji, jika “Sesungguhnya kesulitan itu bersama dengan kemudahan” dua kali ayat tersebut dengan penekanan huruf “fa’”. Jadi takkan ada kesulitan yang sia-sia, jika kau memang mau mewujudkanya. Jika tidak, lari saja ke kamar lalu nonton drama.

Selamat safara!!!

Aku Rindu Ayah, Sebelum aku jauh bertutur yang ndakik, ijinkan diawal tadi saya sebagai seorang anak rindu pada Ayah. Tiidak lupa, tulis...

Aku Rindu Ayah,

Sebelum aku jauh bertutur yang ndakik, ijinkan diawal tadi saya sebagai seorang anak rindu pada Ayah. Tiidak lupa, tulisan ini kupersembahkan teruntuk Ayahanda tercinta, dan Ayah lain di dunia ini.

Seberapa lama ia bersujud mendoakan anak-anaknya, pun orang-orang di sekitarnya. Seberapa keras ia menguras tenaga dan pikiran untuk kami anak-anaknya. orang-orang di sekitarnya yang tak luput menuai hasil tenaga dan pikiranya.

Aku ingin mengabarkan padamu ayahanda, jika padepokan kecil yang kau rintis sekarang sudah besar. Pun lingkar study kecil yang kau ampu sedikit kulanjutkan meski sedikit terseok dengan segala keterbatasanku. Ayahanda, Padepokan kecil yang besar itu sekarang terancam tergusur oleh pendidikan formal yang dinamakan sekolah. Kabarnya Muhadjir Efendy sudah mengesahkan kebijakan "Sekolah lima hari" yang berakibat besar pada murid yang semakin sibuk di sekolah.

Ayahanda mungkin tidak tahu siapa Muhadjir Efendy, dia Menteri Pendidikan di negeri kita, iya Indonesia. Memang riskan menuntut hal tentang ilmu pada menteri pendidikan. Tapi yang pasti, dari kebijakan beliau murid-murid ayahanda tidak punya waktu untuk belajar Iqro', Fiqh, Aqidah dan Ilmu Agama lain di padepokan. Pasalnya, waktu mereka dijarah sekolah sampai jam 4. Lalu mereka kelelahan, sore yang biasa mereka gunakan untuk mengaji tergadai untuk istirahat. Malam? jangan harap, mereka pasti sudah berkutat dengan tugas segunung dari sekolah. Lengkap sudah mereka tak punya waktu mengaji, bahkan untuk bermain.

Tenang ayahanda, aku sebenarnya bukan bermaksud ngerecoki ketenangan ayahanda tentang padepokan itu atau lingkar ilmu.

Hanya saja, aku takut generasi muda kita tidak tahu apapun tentang agama ayah. Agama sebagai spirit perjuangan dan nilai keseharian yang selam ini dipegangteguh masyarakat kita tiba-tiba ingin diputus. Aku tak ingin anak muda penerus bangsa ini terlepas dari akar historisnya. Tak tahu menahu tentang agama adalah sesuatu yang meneduhkan, yang menyelamatkan kita tidak saja di dunia lebih-lebih di akhirat nanti. Ayahanda, apakah benar negeri ini sudah kehilangan akalnya?

Aku takut anak muda penerus bangsa menjadi anak muda yang cerdas tanpa tahu Tuhan dan menjadi manusia (dengan agama). Tanpa tahu akhlak pada dirinya sendiri seperti di Barat, akhlak pada sosialnya (acuh), sampai acuh pada hal yang transenden (Tuhan). Jika saja ini terjadi ayah, mungkin anak muda itu akan kehilangan tali jangkarnya sebagai manusia. Kehilangan obor penerang hidupnya, terombang-ambing derasnya kehidupan. Semoga tidak, Ayahanda tentu tidak ingin hal itu terjadi tho?

Maafkan anakmu yang semakin bawel ini ayahanda, sekali lagi maafkan mengganggu ketenanganmu.

Ayahanda tahu tentang pendidikan yang sedang ananda jalani? lebih carut marut lagi. Pendidikan yang seharusnya membebaskan seorang pribadi menjadi manusia (dirinya sendiri) dikebiri kepentingan-kepentingan di luar kemanusiaan. Modal yang masuk ke ranah pendidikan menjadikan kawan sejawat hendak terburu-buru mendapatkan tiket untu cari kerja. Entah ayah, jujur aku hanya prihatin. Belum lagi mereka yang sibuk untuk kepentingan individual-nya, tanpa tahu (saja) tentang kondisi sekitarnya apalagi sampai tergerak bertindak. Mereka seaakan eksis di pusaran kampus, tapi teralienasi dalam masyarakat. Bingung mau apa, tidak tahu apa yang bisa dia lakukan dengan ilmu (tinggi) yang didapat di kampus.


Tentu, Ramadhan ini sangat berat kujalani bersama adik-adik dan Ibu. Kemarin ketika aku pulang untuk sekedar mengalihkan kesedihan mereka dengan buka bersama. Semoga kehadiranku bisa sedikit memerankanperan Ayahanda. Kurasa kucukupkan sampai disini, tentu  aku masih bolehkan untuk rindu dan curhat kepada Ayahanda? terakhir, teruntuk ruh Ayahanda Al-Fatihah.

Saya mengucapkan Selamat Hari Buku Nasional dan Celakalah saya karena umur saya berkurang. Tepat 17 Mei 2017 umur saya 21 tahun diukur...


Saya mengucapkan Selamat Hari Buku Nasional dan Celakalah saya karena umur saya berkurang.

Tepat 17 Mei 2017 umur saya 21 tahun diukur menurut rotasi matahari. Sebenarnya perputaran tahun tadi hanya lingkaran sirkuit yang terus kita putari. Tidak lebih hanya petanda, seperti Moto GP maupun F1 yang menandai dimana mereka memulai dan mengakhiri balapan. Sama, Ulang tahun adalah momentum kita untuk merefleksi hidup kita berawal darimana, dan sampai mana. Ya, maksudnya batasan hidup yang kita imajinasikan bukan umur yang sudah ditentukan.
             Suasana ulang tahun penuh euphoria dan romantisme sebenarnya bukan hal yang istimewa bagi saya, karena tiap tahun di lingkaran keluarga tidak ada yang memberi kejutan atau semacamnya. Ucapan dan kejutan datang dari beberapa kawan dekat maupun facebook, saya sangat mengapresiasi hal itu. Seperti Enong dalam Maryamah Karpov, Ulang tahun baginya adalah hal yang jauh dari dirinya. Sebuah hal yang sangat istimewa yang tidak pernah dirayakan bahkan membayangkanya pun ia tidak berani. Kurang lebih sama.
             Tapi, lingkungan mengalineasi, kemudian memaksa untuk turut suntuk dalam hiruk pikuk ucapan ulang tahun, kemeriahan semu, dan hiperrealitas lain. Ya, mau gak mau, dibilang tidak mau merayakan tapi lingkungan mendukung. Mungkin ini yang dimaksud Marcuse tentang toleransi represif. Lingkungan yang represif dalam hal ulang tahun menjadi momok bagiku, memaksa untuk berangan-angan ada yang memberi kejutan. Bahkan berharap lebih untuk kehidupan yang lebih baik dengan make a wise tiup lilin ulang tahun.
             Tidak sepenuhnya perayaan ulang tahun adalah hal buruk. Setidaknya itu kulihat dari Maulid Kanjeng Rasulullah, Isa anak Maryam, maupun Sufi Abdul Qodir Jailani. Kelahiran orang-orang pilihan itu memberikan gelombang perubahan dalam masyarakat. Baik Muhammad sebagai manusia maupun sebagai Rasulullah menjadi panutan kita umat Islam dan manusia. Lalu, aku pikir patutkah untuk merayakan ulang tahun? Bukankah Ulang tahun seseorang diperingati dan dirayakan karena keabsahan pribadinya yang patut dijadikan panutan dan kebaikan dirinya memancara ke masyarakat? Makanya, ulama sekelas Mbah Hasyim, Syaikhona Kholil, Mbah Wahab dan ulama lain adalah peringatan kematian bukan kelahiran.
***
             Sekali lagi, tulisan ini adalah sekularisasi pribadi saya sendiri. Diatas adalah ranah agama yang perlu kuberikan porsi sendiri, dan dibawah akan kurefleksikan ulang tahun untukku sendiri.
***
             Di dunia yang semakin membuat orang optimis dan saling kompetitif, menarik diri dari dunia untuk melihat dari sisi yang bersebrangan perlu dilakukan. Sepertinya momentumnya pas untuk membedahnya, antara mitos ulang tahun, ulang tahun ke-21, kado, dan refleksi diri atas dunia.

Mitos Ulang Tahun

             Ulang tahun masih menjadi mitos bagiku, Barthes masih mengerjai dengan makna kedua yang tersampaikan padaku. Seperti tulisanku tahun lalu, ulang tahun menjadi other dari habitus hidup. Menjaid the other dari the main. Jauh tak terjangkau, lebih tepatnya tidak pernah kulalui. Sampai sekarang, pandanganku tentang ulang tahun adalah milik kelas menengah atas, yang merayakan sembari tiup lilin, makan di restoran dan beberapa botol wine atau semacamnya. Alam pikiran tradisional yang masih menancap ini buruk untuk hubunganku dengan ulang tahunku selanjutnya. Apa boleh buat, pikiran menolak, hati berkata lain.

Kado

Ulang tahun ini tetap harus dianggap istimewa toh? Banyak perubahan dalam hidup ini yang menuntut perubahan lain. Kepergian bapak salah satu hal yang menjadi kado dan Tjamboek Berdoeri dalam di usia ini. Kado kemandirian meneruskan perjuangan seorang manusia yang berbeda denganku. Bapak memberikan kado estafet perjuanganya di usia yang terbilang masih muda. Masa aku ingin mengembara, ingin bermain-main, bertualang dan hal-hal menyenangkan lain. Tentu sebuah kado yang istimewa dari Tuhan melalui Bapak yang diambil dariku.
Mengambil dan meneruskan peran-peran bapak tidak mudah. Belajar meluangkan waktu menjadi “bapak” bagi adik-adik, menjadi partner ibu dalam meneruskan hidup. Bahkan peranya dalam masyarakat pun harus kuterima, menjadi bapak itu gak enak. Dan kalua boleh aku mengadu pada bapak, kenapa bapak bisa sedemikan mengorbankan pada masyarakat? Waktu, pikiran, tenaga untuk masyarakat. Bagian kecil yang dibebankan padaku sudah terasa berat bagiku. Meskipun dengan ini aku belajar meneladani bapak dari perannya. Kucukupkan, kado dari-Nya memang harus diterima dengan kerelaan.
Kepergian tentu diiringi kedatangan, masuknya pribadi-pribadi yang baru. Itulah kado lain yang diberikan semesta padaku, memunculkan nuansa uansa baru, memberikan rona baru dalam memandang hidup. Memberikan arahan, teguran, nasehat, candaan dan beberapa kedukaan bersama.
Perlu kuceritakan, ada perempuan yang kusayangi selain Ibu. Ia bukan kekasihku, ia adalah perempuan yang memaksaku untuk menghela nafas, menahan marah, meluangkan hati pula. Karena ia mampu menjadi “rumah” untukku kembali. -Untuk dia, akan kuluangkan ruang lain-

Dekade Ke-3

            Umur 21 diharapkan orang akan menjadi pribadi yang dewasa dengan konsekuensi lahiriahnya. Tahun ini adalah sebuah letupan kehidupan. Rentetan kejadian yang sebelumnya memuncak tahun ini. Aku yang keluar dari zona nyamanku sendiri di pesantren dulu. Mencoba dunia yang sama sekali baru. Menekuni dunia gerakan yang dulu pernah kukritik seutuhnya.
            Satu hal yang menjadi kebaikan di tahun ini adalah berkumpulnya aku dengan orang-orang di desa. Berkesempatan sedikit berbagi ilmu kepada masyarakat dengan duduk bersama, sejajar, berbagi ilmu apapun, saling sambatan atas kejamnya hidup, sampai gotong royong membangun rumah ibadah. Kusadari bahwasanya komunitas ini adalah prototype yang mirip dengan sahabat dulu. Sebuah komunitas tradisional yng jauh dari hiruk pikuk politis, kemurnian dan keluhuran untuk kesejahteraan bersama. Komunitas yang kumaksud akan kujelaskan di waktu lain.


Sekian, kucukupkan. By the way, Tulisan ini juga menjadi kado untuknya.

“Tunas-tunas muda bersemi, tak guna menangis, tak guna tertawa” Iwan Fals. Sudah seminggu bapak meninggalkan kami (keluarga dan orang y...

“Tunas-tunas muda bersemi, tak guna menangis, tak guna tertawa” Iwan Fals.

Sudah seminggu bapak meninggalkan kami (keluarga dan orang yang pernah bersinggungan denganya). Aku hanya sebagian kecil dari lingkaran kesedihan kehilangan sosok yang menjadi bapakku. Dia sebenarnya bukan dititipkan Tuhan untuk kami (keluarga), tapi untuk masyarakat. Sebagian besar hidupnya untuk masyarakat, pun untuk keluarga hanya sebagian kecil namun berkesan. Jadi, aku tidak mau egois kesedihan dan kehampaan ini bukan milikku saja.
            Bapak berpesan “Tanamkan nak, Mencari ilmu bukan untuk mencari urusan duniawi”. Pesan itu disampaikan ketika aku memakai ransel berpamitan untuk berangkat pertama kali ke pesantren. Dilanjutkan mengutip hadits “Man Araada ad-dunya fa ‘alaihi bil ‘ilmi, wa man araada al-aakhirot fa ‘alaihi bil ‘ilmi, wa man araadahuma fa ‘alaihi bil ‘ilmi”. Mungkin pesan itu adalah pesan utama bapak untukku, karena bapak bukan pendakwah bibir saja. Ia adalah laku dakwah itu sendiri. Kalau boleh kusamakan, Ia seperti Umbu Landu Paranggi lakunya adalah Puisi.
            Lihat, berapa jam bapak menjalani hidupnya untuk masyarakat. Dalam 24 jam, bapak hanya menyisahkan sepertiganya untuk dirinya dan keluarga. Sepertiga hidupnya dalam sehari hanya 2 jam untuk keluarga. Salah satu laku yang menjadi potret panutanku adalah kehausannya akan ilmu. Seperti Candu, ia menggemari ilmu tak mau lepas dari Qur’an, Kitab dan Koran. Bahkan, terkadang bapak diam-diam mengambil buku yang ada di rak buku kamarku. Seakan ingin tahu apa yang anaknya pelajari.
Pernah muncul pikiran nakal, buku Merah Magnum Opus Karl Marx kubawa pulang. Buku 3 Jilid tentang Kapitalisme itu esoknya sudah berada di lemari buku milik bapak. Ketika bapak duduk di sofa sambil memegang cangkir kopi iseng kutanya perihal buku tersebut. Ia hanya tersenyum tipis kemudian meminum kopinya. Senang bukan kepalang.
Ahttp://www.panjimas.com/wp-content/uploads/2017/01/ilmu.jpg
Ilmu menurut bapak adalah lentera utama manusia menjalani hidup. Ia tidak membeda-bedakan ilmu agama dan umum, ia setiap hari membeli koran selepas jam 9. Dari sanalah aku suka membaca, ia mencontohkan bagaimana melalui membaca manusia terlepas dari kebodohan dan kebuntuan hidup. Bapak pun menganjurkan aku untuk kuliah di universitas (sekuler), meskipun dia menempatkanku di pesantren. Ia sadar apa yang harus menjadi bekal dalam menjalani hidup kedepan. Ilmu agama dan umum (dikotomi yang tidak disukai bapak) harus jalan selaras, itu yang kusadari.
            Setiap pagi, di depan rumah setelah ngelalar hafalannya di depan meja putih terhampar kitab. Sempat bertanya kepadanya, apa yang membuat bapak seakan tidak bosan dengan ilmu. Jawabanya terletak pada Syair karya Syeikh Az-zarnuji yang dulu ia lafalkan sebelum memulai mendaras kitab. Jawabanya sederhana, salah satu 6 pedoman menuntut ilmu adalah kehausan akan ilmu.
            Aku masih tidak puas dengan jawaban tersebut. Kukejar dengan pertanyaan lain, (selama dipengaruhi oleh ilmu-ilmu kritis tidak seharusnya ilmu untuk ilmu) Apa yang kudapat? Kembali aku dikejutkan. “Ilmu untuk ilmu maksudnya ilmu dipelajari benar-benar untuk mendapatkan ilmu, menghilangkan kebodohan. Ilmu yang sudah diperoleh baru digunakan untuk yang lain, contoh membebaskan masyarakat dari kebodohan, mengangkat derajat masyarakat.” Aku manggut-manggut.

            Sambil menutup kitabnya, bapak menepuk bahuku masuk rumah. ~Memoar Bapak 1~

Sekiranya 2 tahun yang lalu musik Indie pertama kali yang kudengar, Efek Rumah Kaca. Pada saat itu juga  kiblat musik beralih ke Indie, se...

Sekiranya 2 tahun yang lalu musik Indie pertama kali yang kudengar, Efek Rumah Kaca. Pada saat itu juga kiblat musik beralih ke Indie, seperti Palestine menjadi Ka’bah. Ada beberapa hal yang patut dijadikan alasan pendukung Indie. Pertama, Unik atau bisa dibilang aneh. Semangat non-mainstream yang dibawa memberikan suntikan pada penggemarnya. Seakan mendapat pembenar atas percobaan perlawanan terhadap pusat. Lain halnya dengan Musik mainstream, Indie menawarkan nilai ndakik yang jarang dimiliki Populer.

Begitu juga dengan Film, Indie menempati ruang khusus. Kelompok yang mendaku cerdas dan segelintir mahasiswa gandrung pada garapan-garapan Indie. Alasanya sama, Unik, jarang yang tahu plus nilai ndakik yang tidak dimiliki Film Populer. Makanya, Istirahatlah kata-kata dapat hantaman dari pecandu film garapan dapur seadanya daripada masuk bioskop. Pun dengan La La Land maupun beberapa Film yang sudah memenangi Oscar.
Lalu tempat hal-hal Pop dimana? Ruang Populer semakin dicela, dikikis oleh marjinal. Sebelum jauh, kuingatkan untuk tidak berburuk sangka penulis penyokong stabilitas. Pemuja mainstream, lalu menjilat dominasi kekuasaan (lini apapun). Faktanya, Pop selalu menempati ruang-ruang terbuka dalam benak manusia. Ruang utama masih dihuni barang-barang populer, setidaknya alam bawah sadarnya. Ketika dominansi ruang utama terganggu, unstable yang terjadi, chaos. Benarkah demikian.
***
Add cahttp://wonderopolis.org/wp-content/uploads//2013/11/dreamstime_xl_9345238-custom.jpgption
Coba kita uji, ketika Dominasi kekuasaan Wilhelmina di Kepulauan Hindia diganyang Pribumi? Kekacauan terjadi, rakyat kecil yang terkena dampak kelaparan, PHK buruh sampai kesulitan mendapat beras.
***
            Makhfud Ikhwan menyentak dengan bukunya “Aku dan Film India melawan dunia”. Tercerahkan dari sana, Buku kutinggalkan untuk tenggelam dalam gemerlap Bollywood. Kembali folder Bollywood dibuka, Internet dinyalakan. Puluhan Film sudah selesai kutonton sekaligus komentarnya. Dalam konteks ini, aku bingung menempatkan dalam rak mana. Antara Populer? Atau Indie? Dari segi produksi Bollywood sudah menjadi Industri, perputaran kapital dalam Film. Tapi, untuk kalangan penikmat Film indonesia sekarang tak banyak yang menonton.
            Denys Lombard dengan magnum opusnya (Nusa Jawa) menarasikan relasi Nusantara dengan tanjung asia tersebut. Singgungan budaya berlangsung dari awal abad IV sampai kompeni ngangkang. Alhasil, Indonesia banyak dipengaruhi oleh India. Setidaknya dari Film-lah kita bisa tahu India pernah berhubungan dengan Indonesia. Melalui Bombay Velvet, Tokoh Mafia, Kiri, dan Preman (dan perempuannya) berbenturan kepentingan. Landscape Indonesia yang terpotret di daerah Bombai (Mumbai) sama dengan Surabaya pada abad 20-an awal.
            Dengan terang, kuangkat topi untuk India dalam perfilman. Produktivitas yang tinggi sampai mengalahkan Hollywood. Kabarnya sampai ribuan Film pertahun. Film Populer cinta (pasca Kuch-Kuch Hota Hei), Film Gender (Kahaani, The Dirty Picture Kahaani 2) sampai Film “kiri” (Matru Ki Bijle Ka Mandola). Belum lagi Film Heroik yang khas India, Mohenjo Daro, Bajrangi Baijan, Don dll. Representasi keanegaramaan pandangan ada dalam Film India. Orinetalisme vs Oksidentalisme, Liberal vs Komunis, Pria vs Wanita sampai Konflik beda warna baju.
            Sayang, India hanyalah negara yang pernah merasakan getirnya kolonialisasi. Maka apapun yang datang darinya masih dipandang sebagai pinggir, marjin. Pun dengan Indonesia, Kejayaan Indonesia yang terendapkan dalam mentalitas manusianya harus tenggelam. Kita adalah pusat, bukan samping. Teori Spekulatif Stephen Oppenheimer tentang Indonesia adalah Atlantis yang terkubur perlu dikaji ulang. Indonesia saatnya berdikari, berdaulat atas dirinya sendiri, independen dengan kemampuanya. Lalu sayup-sayup, Indonesia Pusaka mengalun dari samping rumah. Tanda hampir subuh.